Purgatory Yang Berdenyut Nadi II

Posted: October 10, 2011 in My Literary Works

Dentang lonceng kuil para penyembah cemara menggema diminggu buta. Lalu lalang orang-orang tua, anak-anak dan pemuda memenuhi kota. Ini hari suci dan hari bahagia mereka. Tapi jelas kebahagiaanku tidak untuk semua…

Langkah berat seorang tentara ‘Purgatory’, tentara bertubuh api penyembah Sang Mentari. Tentara yang membaiat diri tak akan mati sebelum tugas mereka terakhir mereka berakhir, sebuah tugas untuk membakar hangus orang-orang yang mengadu domba para penyembah Mentari. Langkah beratnya bukan karena ia telah kalah perang, langkah beratnya bukan karena ia dan pasukan ‘Purgatory’ berdenyut nadi lainnya yang ia pimpin akan segera menyelami sebuah pertempuran besar. Langkah beratnya muncul setelah ia pulang ke desanya, kampung halamannya. Desa yang hijau penuh biri-biri gemuk dan padang-padang gandum.

Ia datang berniat untuk menengok orang-orang yang ia cinta. Ia datang untuk menengok kedua orang tuanya, terutama ibunya yang selalu membuat hatinya hangat. Kekasihnya yang dulu selalu menemaninya membersihkan kuil Mentari, dimana mereka dulu bersama-sama membakar dupa dan membaca mantra dan doa-doa untuk Sang Mentari.

Pagi itu, ia melihat ibunya sedang menuai benih-benih gandum besama ayahnya yang seorang pensiunan tentara yang sudah renta, ia melihat mereka dari kejauhan, dari balik perbukitan batu diseberang ladang. Ia tak mau kedua orang tuanya tahu bahwa kini seluruh tubuhnya kini berselimut api, konsekuensi kekuatan besar yang ia ambil untuk menghentikan perang diantara para penyembah Sang Mentari dinegeri Ukhuwah, negeri yang kaya ini. Kedua orang tuanya hanya tahu bahwa sekarang ini ia sedang berdagang dan mencari ilmu tata cara bercocok tanam dinegeri seberang. Hatinya sesak menyaksikan ini semua, tapi api yang yang menyelimuti tubuhnya masih terlalu panas untuk membiarkan airmatanya mengalir dari matanya. Hanya dari kejauhan, entah lebih pantas disebut menyedihkan atau sederhana, namun itu baginya cukup membuatnya bahagia.

Sorepun menjelang, ia berniat untuk beranjak pulang, meninggalkan desa itu untuk berjalan kembali ke utara, ke barak para pasukan api. Namun ditengah perjalanan meninggalkan desa ia bertemu dengan kekasihnya. Mereka saling pandang cukup lama. Ia nikmati setiap detik yang berlalu, setiap detik waktu yang ada walau hanya dalam pandang, begitu juga kekasihnya yang tahu benar bahwa manusia api berjubah besi itu adalah kekasihnya.

“Leliana…” Ucap tentara itu, mencoba memecahkan kebekuan yang ada. Gadis yang amat sangat mengenal siapakah tentara api itu sedikit terenyak mendengar namanya disebut secara lembut oleh sosok yang menyeramkan itu. Tapi kemarahannya akan keputusan pria itu untuk menjadi pemimpin pasukan api ‘Purgatory’ yang membuat penggunanya mendapatkan kutukan bertubuh api itu membuatnya mengucapkan perkataan yang membohongi diri.

“Siapa dirimu? Aku tak mengenalmu. Apakah kita pernah bertemu sebelumnya wahai manusia api?”

Ucapan penuh kepura-puraan dari bibir seorang wanita yang biasa keluar dari mulut mereka ketika rasa rindu, marah, dan sedih bercampur aduk. Kata-kata lyang sebenarnya menyakitkan hatinya sendiri. Tapi ternyata kata-kata itu tak hanya menyakiti hati gadis itu sendiri, kata-kata itu ternyata juga amat terasa begitu menyakitkan bagi tentara ‘Purgatory’ itu. Tentara ‘Purgatory’ adalah tentara yang tak bisa mati oleh tusukan dan sayatan panah dan pedang biasa, tapi bukan berarti sebuah ucapan tak bisa melukai hatinya. Pedih, itu yang ia rasa, mengingat seharusnya mereka disatukan dan bebas dari alam fana jika mereka jadi berikrar dikuil Matahari dan bersaksi dibawah sinar Sang Mentari.

“Aku ‘Purgatory’, pasukan api yang tak bisa bisa mati. Puluhan luka tusukan dan sayatan panah dan pedang yang menembus kulitku selalu mengering setelah sepersekian detik pedang dan panah itu aku cabut dari tubuhku. Setelah itu aku tak merasakan apa-apa lagi. Tapi kenapa, ucapan seorang hawa yang mengaku tak mengenalku ini begitu membuat rongga dada sebelah kiriku begitu sesak? Lebih menyakitkan daripada ketika jantungku ditikam dari belakang oleh Sang Gigi Tanggal, Jenderal pengkhianat pemimpin pasukan pembebasan yang telah ku pukul mundur dalam pertarungan dipadang Qolbu yang terjadi di saat musim hujan lalu. Wahai Leliana… Gadis yang mengaku tak pernah mengenalku, aku hanya ingin kau tetap mengingat, mengingat sebuah perkataan yang sama seperti yang pernah ku katakan dulu bahwa keputusan ini ku ambil karena besarnya cintaku pada Sang Mentari. Jika kau masih berpikir bahwa ini ku lakukan untuk mendapatkan hati seorang putri dari golongan Elf, peri gunung, sebagaimana yang dikatakan banyak orang, maka kau salah. Putri Elf tersebut akan menikah dengan seorang pangeran Elf pula pada malam purnama esok. Aku ingin kau tahu itu… Dan aku juga ingin kau tahu, bahwa apa yang kau katakan tadi benar-benar membuat dadaku begitu sesak. Ini begitu menyakitkatn dan tak bisa ku biarkan, karena kelemahan ini bisa membuat semangatku tumbang dalam menjalani peperangan ini.”

Setelah itu ia cabut sebilah pisau dari ikat pinggang rantainya, lalu ia buka zirah besi yang melapisi dadanya. Kemudian ia tusukkan pisau itu tepat didada sebelah kirinya. Ia sayat luka itu agar lebih lebar dan menganga, lalu dengan segera ia masukkan tanganya ke dalam luka yang menganga itu. Ia menggeram kesakitan, tapi tanganya masih tetap berada didalam dada, seakan sedang merogoh mencari sesuatu. Lalu beberapa saat kemudian bersamaan dengan sebuah teriakkan keras, ia cabut tangannya keluar dari dadannya. Dan sepersekian detik kemudian luka sayatan didadanya itu sembuh, menghilang tak berbekas.”Servatis a periculum… Servatis a maleficum… Lindungilah kami dari mara bahaya… Lindungilah kami dari Kejahatan…”

Itulah kata-kata dingin yang keluar dari mulut tentara bertubuh api itu. Kemudian ia melanjutkan langkahnya ke arah utara. Tanpa menengok kebelakang, apakah gadis itu kini sedang menangis atau tidak, ia tetap berjalan, walau benda yang ia tarik dari dalam dadannya yang kini berada dalam genggamannya tak terasa terjatuh ketanah. Ia terus melanjutkan langkahnya walau kini benda itu kini berliang tanah. Walau ‘Hati’ itu mungkin akan menghilang dimakan alam.

Dan terdengar bisik pelan dari benda itu…

“Selamatkan aku.”

6 Okt ’11

Sebuah Sore Tanpa Kemenangan dan Penyesalan

Adiwena Yusuf Nugraha

 

Kanye West

Leave a comment